Kamis, 23 Oktober 2014

Penggunaan Bahan Kimia Obat Pada Kosmetik



A.    Contoh Kasus
Gencarnya penawaran produk kosmetik baik melalui iklan di koran, radio, dan televisi seolah-olah produk kosmetik tersebut nomor satu dan aman  untuk dipergunakan, dilakukan semata-mata agar masyarakat tertarik untuk membelinya. Hal ini jelas amat berbahaya karena kosmetik tersebut mengandung bahan kimia berbahaya dan tidak teruji secara klinis. Masyarakat diharapkan dapat memilih mana yang baik atau tidak, padahal hal tabu tersebut sangat sulit untuk masyarakat awam. Biasanya masyarakat hanya berpatokan pada khasiat kosmetik yang mujarab, cepat terlihat khasiatnya, dan ekonomis tanpa melihat efek samping dari penggunaan kosmetik tersebut. Kasus ini banyak sekali terjadi seperti contoh kasus pengrebekan pusat kosmetik home industri yang mengandung bahan kimia obat yang dilarang pada bulan Mei 2013 (SUMBER : REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO). Bahan kosmetik yang disita BPOM Semarang di Purwokerto, diperkirakan mengandung obat terlarang. Kepala BPOM Semarang, Dra Zulaimah MSi Apt, menyebutkan hasil uji laboratorium krim kecantikan yang disita dari satu satu rumah produksi di Kompleks Perumahan Permata hijau tersebut, memang masih belum selesai. Bahkan baku yang dipergunakan sebagai bahan baku krim tersebut, antara lain berupa Bahan Kimia Obat (BKO) seperti obat-obatan jenis antibiotik, deksametason, hingga hidrokuinon. Penggerebekan rumah produksi krim kecantikan itu, dilakukan karena rumah produksi tersebut belum memiliki izin produksi dari BPOM. Sementara penggunaan bahan baku kosmetik harus mendapat pengawasan ketat, karena penggunaan bahan baku yang tidak semestinya bisa membahayakan konsumen. Krim pemutih hasil produksi warga Purwokerto ini, dijual ke klinik dan salon kecantikan di seluruh wilayah Tanah Air. Pemilik rumah produksi yang berinisial S, sudah dalam pengawasan petugas BPOM dan akan dikenai hukum pelanggaran dalam bidang POM sesuai UU No 35 tahun 2009 bisa dikenai sanksi pidana maksimal 15 tahun atau denda Rp 1,5 miliar.

A.    Penelitian Mengenai Tema
 Hydroquinone adalah zat reduktor yang mudah larut dalam air dan lazim digunakan dalam proses cuci cetak foto. Hydroqninone bekerja pada sistem sel melanosit dengan menghambat aktivitas enzim tyrosinase (menjadi aktif akibat sinar matahari, hormonal, penyakit, obat, alergi, dan iritasi), yang memicu pembentukan melanin (zat pigmen kulit penyebab kulit terlihat lebih gelap. hiperpigmentasi, atau noda kecokelatan) dengan cara menghancurkan melanosom (bagian dari melanosit, tempat menyimpan pigmen—pigimen melanin). Padahal melanin berfungsi sebagai pelindung kulit dan sinar ultraviolet sehingga kita terhindar dan kanker kulit. Di Amerika, pada bulan Agustus 2006, FDA  melarang semua produk kosmetik mengandung hydroquinoue. FDA menetapkan setiap produk mengandung hydroquinoue dianggap obat, dan hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Di Indonesia, pelarangan itu akan mulai diberlakukan tahun 2008. Penelitian menunjukkan bahwa Hydroquinone dapat menyebabkan okronosis, yaitu kulit berbintik seperti pasir dan berwarna cokelat kebiruan. Penderitanya akan merasa kulit seperti terbakar dan gatal. Lebih jauh, penelitian menyebuktkan bahwa penggunaan Hydroquinone dengan konsentrasi tinggi jangka waktu lama dapat menyebabkan efek perubahan sel menjadi sel ganas yang memicu kanker. Penggunaan Dexamethason kemungkinan digunakan untuk mengurangi peradangan dan gatal pada kulit untuk beberapa kasus alergi. Dexametason memang diperbolehkan namun dengan resep dokter, dosis sesuai, dan produk sudah teregistrasi/memiliki NIE. Dexametason pada krim kosmetik hanya digunakan untuk mengurangi iritasi akibat pemakaian Hidroquinon telalu lama. Sama halnya dengan Dexametason, antibiotik yang sering digunakan pada krim wajah seperti Clindamicyn harus dalam pengawasan. Antibiotik ini digunakan untuk menghilangkan jerawat, antibiotik boleh digunakan kosmetik asalkan atas resep dokter sesuai dosis sebab pemakaian antibiotik yang berlebihan justru menyebabkan kekebalan bakteri pada obat dan menambah iritasi wajah. penggunaanya dibatasi karena golongan keras.
B.     Analisis
Berdasarkan Permenkes RI No.445/MenKes/Per/V/1998 yang dimaksud dengan Kosmetika adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidemis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. Meskipun tertera bahwa kosmetik tidak digunakan untuk mengobati/mengandung obat tetapi masih saja dilanggar bahkan obat yang dikandung dalam kosmetik melebihi dosis dan merupakan bahan yang dilarang pada kosmetik karena bahaya. Sungguh tidak etis bahwa produsen tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, secara langsung produsen tidak berkomitmen terhadap peraturan mengenai pembuatan kosmetik yang sesuai CPKB dan UU serta merugikan berbagai pihak terutama lingkungan masyarakat untuk mencari keuntungan pribadi. Komitmen/kesepakatan berupa sesuai aturan yang diacuhkan tidak dapat memperbaiki kualitas produk bahkan menjamin pabrik produsen tetap berdiri.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Produsen dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4a di mana pabrik ini memproduksi kosmetik bercampur bahan kimia obat yang dapat membahayakan keselamatan konsumen. Padahal konsumen meiliki hak untuk diberi informasi, hak untuk komplain, hak untuk mendapatkan keselamatan, serta hak untu memilih. Tetapi karena ulah produsen, konsumen menjadi memilih obat tersebut karena iklan dengan informasi yang berlebihan. Selain itu pabrik konsemetik yang berdiri seharusnya memiliki apoteker penanggung jawab. Tindakan yang dilakukan memperlihatkan bahwa etika dari seorang produsen sangat rendah. Tanpa memilikirkan persiapan yang tidak lengkap, promosi produk yang berlebihan dengan konsumen tinggi tetapi tidak pernah ada evaluasi untuk meperbaiki perusahaan dan produk sesuai protab dan bertanggu jawab dengan memastikan keamanan produk. Pertanggungjawaban ini tidak berhenti pada konsumen saja melainkan pada Tuhan dan dirinya sendiri. Pada iklan dengan komitmen jaminan keamanan dan mutu produk tidak terjadi sebenarnya, berbohong dan mencelakai merupakan perilaku yang harus ditanggungjawabkan pada Tuhan di kemudian hari.
Pada intinya pemilik tidak memiliki prinsip etika profesi yang berhubungan dengan diri sendiri, Tuhan, dan orang lain sehingga apa yang dikerjakan menjadi tidak beraturan. Prinsip tersebut yaitu tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya, serta tanggung jawab atas dampak profesinya terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, keadilan dalam menjalankan profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentup, otonomi merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan professional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya, dan integritas moral mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya.


C.    Solisi Kasus
Peran serta masyarakat dalam upaya mengatasi  peredaran kosmetik  yang  mengandung  bahan kimia obat dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah dengan memberikan informasi mengenai produk kosmetik yang beredar di masyarakat tidak memenuhi standar mutu yang ada serta adanya pelaku usaha nakal yang memproduksi serta mengedarkan produk kosmetik tersebut. Sedangkan peranan masyarakat secara tidak langsung adalah dengan membantu pemerintah dalam proses perencanaan program penyelenggaraan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah seperti  penyuluhan masyarakat mengenai efek samping serta cara mengenali kosmetik yang tidak aman serta dengan memberikan masukan bagi pemerintah dalam menentukan perumusan kebijaksanaan. Bagi pelaku harus dijerat pasal dengan pidana atau sanksi beserta penutupan usaha dan penarikan produk selain itu pelaku juga harus bertanggung jawab/ganti rugi kepada pasien. Meskipun BPOM sudah mengeluarkan aturan dan pasal yang menjerat bagi pelanggarnya namun tim penyidik dari BPOM harus segera menangani kasus kosmetik yang tidak sesuai protab agar tidak semakin banyak dan meresahkan masyarakat. Kesadaran dari masyarakat untuk menjadi konsumen yang cerdas, tidak percaya iklan/teliti, selektif iklan, dan mencari tahu sumber kosmetik yang aman dengan no ijin edar yang berlaku. Hendaknya setiap LPKSM berperan aktif dalam melakukan perannya dalam melindungi masyarakat konsumen, mengingat banyaknya kasus pemakaian kosmetika yang mengandung zat aditif ternyata menimbulkan masalah kesehatan pada konsumennya namun nyaris tidak ada konsumen yang bersedia menga-dukan masalahnya tersebut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) walau-pun menurut Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mereka berhak mendapat ganti rugi dari pelaku usaha meliputi pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar, pemulihan atas kerugian materil atau immaterial yang telah di deritanya, pemulihan pada keadaan semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar